Rabu, 11 November 2015

SEPERTI SARANMU...



797837_006-decorart100x125abstrak1
            Tercermin wajah murungku di permukaan air sungai yang menggenang tenang. Hanya ada beberapa gelombang kecil dari kecipuk ikan yang timbul saat menghirup udara segar, sembari membuka-tutup mulutnya beberapa kali dari sela rerimbunan kiambang. Sesekali tanganku dengan iseng menghempaskan batu-batu kecil ke dalam sungai. Aku amat suka mendengar bunyi dari beradunya batu kecil itu dengan air, setidaknya bunyi itu lebih baik dari kicauan teman-temanku yang teramat kejam mengecam orang-orang sepertiku.
            “Kau ingat kisah kaum Nabi Luth? Ih, betapa hinanya kematian mereka,” ucap salah seorang temanku kala itu.
Aku menelan ludah saat mendengar apa yang baru saja temanku katakan. Benarkah Tuhan menciptakan orang-orang sepertiku hanya untuk dimasukan ke dalam neraka? Bukankah hidup menjadi seorang gay bukan kehendak kami? aku membatin risau memikirkan nasib burukku.
Dalam diamku, aku mencoba abai dengan cerita mereka. Namun, semakin kututup rapat telingaku, semakin terdengar jelas pula ucapan mereka. Tak hanya telingaku yang mengalami rasa sakit, bahkan sekujur hatiku terasa perih, seperih tersayat sembilu.
Cipratan air tiba-tiba mengguyur tubuhku hingga membuat pakaianku kuyup. “Berhentilah melamun! Apa kau tak lihat, aku begitu kesulitan mengangkat pukat[1] ini ke permukaan sungai?!” tegur Malik ditingkahi perangai usilnya yang sukses memudarkan lamunanku. Tangannya menarik kuat pukat yang telah terisi begitu banyak ikan. Sesekali tangan kanannya menyeka peluh yang mulai mengucur di dahinya. Genangan air sungai setinggi lututnya berhasil membuat basah jeans yang telah ia cincing setinggi betis.
Aku mendengus kesal karena perangai jahilnya. Kuusap pakaianku yang telanjur basah oleh cipratan air sungai, lantas kutatap sosok Malik dengan nanar. “Apa kau tak bisa meminta bantuan dengan cara yang sopan?” hardikku dengan penuh emosi.
“Hei, kenapa harus semarah itu?! Aku hanya bercanda. Lekaslah bantu aku!” Nada suara Malik justru lebih tinggi dari nada suaraku, seperti membentakku. Malik sama sekali tak melihat perubahan mimikku yang begitu kesal karena kejahilannya.
“Aku pulang!” ucapku tanpa menghiraukan Malik yang masih kesulitan menarik pukat ke permukaan sungai.
Terdengar kecipuk air begitu berisik saat langkah Malik mencoba mendekatiku. “Jangan senekat itu, San!” teriaknya.
Kutangkap kekhawatiran Malik dari ucapannya. Aku pun menghentikan langkahku dan berbalik arah mendekatinya. Hatiku masih kesal, tapi aku tak ‘kan mungkin membiarkan orang lain merasakan kesulitan, sedangkan aku menyaksikan kesulitan itu dengan mata kepalaku.
Kubantu sebisaku mengangkat pukat yang hampir terisi penuh oleh ikan ke permukaan sungai. Tanpa sepatah kata, pun tanpa secuil toleh padanya. Malik pun melakukan hal yang sama, hanya sibuk dengan pukat dan ikan-ikannya saja, tanpa menoleh ke arahku. Sungguh, tak ada suara yang tercipta dari lisan kami berdua, kecuali bunyi kecipuk air dan embusan angin yang mulai jahil menjamah tubuh kami.
______
            Aku memasuki rumah dengan pakaian setengah kuyup. Tetesan air dari pakaianku turut menjejak di lantai rumah.
            “Apa ceritanya pakaianmu bisa sebasah ini, San?” ucap Emak ditingkahi kernyitan di dahinya.
            “Isan main di dekat sungai tadi, Mak,” jawabku ringkas seraya berlalu menuju kamar mandi.
            Seusai ganti pakaian, aku turut bergabung di ruang keluarga. Menikmati hidangan makan malam buatan Emak. Sepiring sambal ikan asap, gulai pucuk labu, dan beberapa helai ulam[2] yang menjadi menu istimewa malam ini.
“Apa kabar Ilay, San? Sudah lama Abah tak melihatnya.”
“Baik agaknya, Bah,” sahutku ringkas.
“Emak menyukainya, San. Rindu sekali memiliki menantu selembut dia,” timpal Emak seraya menyendok potongan ikan asap.
Kutatap lamat-lamat wajah Emak. Senyumnya begitu tulus saat menyebut nama Ilay. Seolah harapan besar sengaja ia gantungkan padanya.
Bagaimana bisa aku mengutarakan kegelisahan ini. Sebab, aku takkan pernah sanggup merenggut senyum bahagia mereka. Maafkan anakmu, Mak. Isan tak ada hasrat sedikit pun pada Ilay. Namun, Isan pun tak sanggup merenggut kebahagiaan Emak jika Isan dengan lancang menguatarakan pengakuanku ini. Aku tersenyum getir menatap wajah Emak.
______
            Pada siapa lagi kan kularungkan masalah ini? Bahkan, aku tak yakin jika keluargaku sanggup menerima kenyataan tentangku. Aku tak normal. Ya, setidaknya itulah yang ada pada benak mereka.
            Sesaat, nama Malik melintas di pikiranku. Mengantarkanku pada kejadian kemarin sore. Ah, agaknya aku telah bersikap berlebihan padanya. Entah mengapa di saat suasana hati tengah tak keruan, apa saja bisa menjadi sumber masalah.
            Tiba-tiba sebuah biji kelatak mengenai kepalaku.
            Tak!
            “Aduh!” pekikku gaduh.
“Melamun saja kerjamu!” Malik menyeret langkahnya mendekatiku. “Kita ambil pukat lagi, yuk!”
Tanpa menunggu persetujuan dariku, tangan Malik menarik kuat lenganku. Aku terseret dengan langkah cepatnya. Dalam benakku, aku bergumam kesal padanya. Tapi, aku tak kuasa menolak ajakan teman kecilku ini. Kami sudah seperti saudara yang terlahir dari rahim yang sama. Kebersamaan yang telah kami tempa begitu lama seolah menjadi bukti kedekatan kami, kendati kami sering cekcok hanya karena persoalan ringan.
Sesampainya di tepi sungai, Malik menyorong sampannya ke arah air yang lebih dalam. Tubuh gempalnya telah naik di atas sampan. Seraya mengatur posisi duduknya, Malik mulai memegang dayung.
“Lekaslah naik!” perintahnya saat mendapatiku masih termangu menatap hamparan sungai.
            Aku tak menyahut, masih sibuk mengamati sungai dengan tatapan ketakutan.
            “Hei, kau tak perlu setakut itu! Cobalah untuk santai!” perintah Malik sembari memasang wajah kesalnya.
            Kutarik napas dalam, dan mencoba mengatur napas senormal mungkin. “Ba-baiklah,” sahutku dengan gemetar.
            Sampan mulai melaju ke tengah sungai. Menepikan rerimbunan kiambang yang mengapung di dekatnya. Jalur sampan mulai tampak jelas, menciptakan gelombang dengan denyut yang seirama.
            “Boleh kubertanya sesuatu padamu?” ucapku membuka obrolan. Tanganku masih gemetar memegang sisi sampan.
            “Tanyakan saja!” sahutnya tanpa menoleh ke arahku. Malik masih menjatuhkan fokusnya pada dayung yang ia pegang.
            “Kau pernah jatuh cinta?”
            Malik tergelak. “Hahaha, bukankah aku selalu menceritakan tentang kisah cintaku. Kenapa kau menanyakannya lagi?” jawabnya seraya memerkan celah gigi pada deretan gigi putihnya.
            Tampaknya Malik salah fokus atas pertanyaanku. Atau, mungkin aku yang tak tepat dalam mengutarakan maksud pertanyaanku. “Bukan itu maksudku, Malik!”
            Malik mengernyitkan keningnya, seakan mengisyaratkanku untuk memperjelas pertanyaan.
Kupejamkan netraku sekejap, lantas mulai bersuara, “Ehm, maksudku. Apa kau pernah terjebak dalam cinta terlarang?”
            Malik mengernyitkan keningnya. “Cinta terlarang seperti apa?” Tangannya masih asyik mendayung seraya menepikan kiambang yang menghalangi lajunya sampan.
            “Ya, cinta terlarang. Mencintai saudara kandungmu, misalnya. Atau, mencintai adik iparmu.”
            Malik justru tergelak atas pertanyaanku. “Hahaha, tidaklah. Pertanyaanmu aneh sekali, San.”
            Aku menyeringai, mengimbangi gelak tawanya. “Hahaha, ya, kurasa memang aneh. Tapi, bagaimana jika hal itu terjadi padamu?”
            Malik menghentikan dayungannya. Lantas, ia berpikir dalam beberapa jenak. “Hem..., akan kusingkirkan siapapun yang menghalangi cintaku. Hahaha....” jawabnya ringan.
            Aku justru tak mengerti, mengapa Malik bisa berpikir sesimpel itu. “Jadi, kau lebih mengutamakan cintamu daripada ucapan orang-orang di sekelilingmu?”
            “Tentu. Sebab tak ada yang salah atas nama cinta.”
            “Ya, kurasa kau sudah gila,”
            “Hei, ini jawabanku. Hargailah!”
            “Tentu aku menghargai jawaban gilamu.”
            Semburat merah saga tampak begitu elok menghiasi kanvas cakrawala. Dari sudut hilir sungai, terlihat begitu jelas keindahan sang surya yang hendak pulang ke singgasananya. Embusan angin sungai dengah pongahnya menelanjangi setiap senti tubuh kami. Juga tampak sebagian lain yang berlarian di permukaan sungai.
            Malik masih tampak asyik mendayung sampan. Diarahkannya sampan itu menuju hulu, sembari bertingkah usil mencipratkan air sungai ke arahku. Ia tampak sempurna saat larung dalam tawa bahagianya.
            Mungkin kau tak pernah tahu, Malik. Jika aku telah menuliskan namamu di dalam hatiku. Seperti saranmu, aku akan menyingkirkan siapapun yang menghalangi cintaku. [ ]
*Terinspirasi dari lagu Born This Way – Lady Gaga.
Yogyakarta, 09 November 2015


[1] Alat penangkap ikan berbentuk seperti keranjang
[2] Lalapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar