Tercermin
wajah murungku di permukaan air sungai yang menggenang tenang. Hanya ada
beberapa gelombang kecil dari kecipuk ikan yang timbul saat menghirup udara
segar, sembari membuka-tutup mulutnya beberapa kali dari sela rerimbunan
kiambang. Sesekali tanganku dengan iseng menghempaskan batu-batu kecil ke dalam
sungai. Aku amat suka mendengar bunyi dari beradunya batu kecil itu dengan air,
setidaknya bunyi itu lebih baik dari kicauan teman-temanku yang teramat kejam
mengecam orang-orang sepertiku.
“Kau ingat kisah kaum Nabi Luth? Ih,
betapa hinanya kematian mereka,” ucap salah seorang temanku kala itu.
Aku
menelan ludah saat mendengar apa yang baru saja temanku katakan. Benarkah Tuhan menciptakan orang-orang
sepertiku hanya untuk dimasukan ke dalam neraka? Bukankah hidup menjadi seorang
gay bukan kehendak kami? aku membatin risau memikirkan nasib burukku.
Dalam
diamku, aku mencoba abai dengan cerita mereka. Namun, semakin kututup rapat
telingaku, semakin terdengar jelas pula ucapan mereka. Tak hanya telingaku yang
mengalami rasa sakit, bahkan sekujur hatiku terasa perih, seperih tersayat
sembilu.
Cipratan
air tiba-tiba mengguyur tubuhku hingga membuat pakaianku kuyup. “Berhentilah
melamun! Apa kau tak lihat, aku begitu kesulitan mengangkat pukat[1]
ini ke permukaan sungai?!” tegur Malik ditingkahi perangai usilnya yang sukses
memudarkan lamunanku. Tangannya menarik kuat pukat yang telah terisi begitu
banyak ikan. Sesekali tangan kanannya menyeka peluh yang mulai mengucur di
dahinya. Genangan air sungai setinggi lututnya berhasil membuat basah jeans yang telah ia cincing setinggi
betis.
Aku
mendengus kesal karena perangai jahilnya. Kuusap pakaianku yang telanjur basah
oleh cipratan air sungai, lantas kutatap sosok Malik dengan nanar. “Apa kau tak
bisa meminta bantuan dengan cara yang sopan?” hardikku dengan penuh emosi.
“Hei,
kenapa harus semarah itu?! Aku hanya bercanda. Lekaslah bantu aku!” Nada suara
Malik justru lebih tinggi dari nada suaraku, seperti membentakku. Malik sama
sekali tak melihat perubahan mimikku yang begitu kesal karena kejahilannya.
“Aku
pulang!” ucapku tanpa menghiraukan Malik yang masih kesulitan menarik pukat ke
permukaan sungai.
Terdengar
kecipuk air begitu berisik saat langkah Malik mencoba mendekatiku. “Jangan
senekat itu, San!” teriaknya.
Kutangkap
kekhawatiran Malik dari ucapannya. Aku pun menghentikan langkahku dan berbalik
arah mendekatinya. Hatiku masih kesal, tapi aku tak ‘kan mungkin membiarkan
orang lain merasakan kesulitan, sedangkan aku menyaksikan kesulitan itu dengan
mata kepalaku.
Kubantu
sebisaku mengangkat pukat yang hampir terisi penuh oleh ikan ke permukaan
sungai. Tanpa sepatah kata, pun tanpa secuil toleh padanya. Malik pun melakukan
hal yang sama, hanya sibuk dengan pukat dan ikan-ikannya saja, tanpa menoleh ke
arahku. Sungguh, tak ada suara yang tercipta dari lisan kami berdua, kecuali
bunyi kecipuk air dan embusan angin yang mulai jahil menjamah tubuh kami.
______
Aku memasuki rumah dengan pakaian
setengah kuyup. Tetesan air dari pakaianku turut menjejak di lantai rumah.
“Apa ceritanya pakaianmu bisa
sebasah ini, San?” ucap Emak ditingkahi kernyitan di dahinya.
“Isan main di dekat sungai tadi,
Mak,” jawabku ringkas seraya berlalu menuju kamar mandi.
Seusai ganti pakaian, aku turut bergabung
di ruang keluarga. Menikmati hidangan makan malam buatan Emak. Sepiring sambal
ikan asap, gulai pucuk labu, dan beberapa helai ulam[2]
yang menjadi menu istimewa malam ini.
“Apa
kabar Ilay, San? Sudah lama Abah tak melihatnya.”
“Baik
agaknya, Bah,” sahutku ringkas.
“Emak
menyukainya, San. Rindu sekali memiliki menantu selembut dia,” timpal Emak seraya
menyendok potongan ikan asap.
Kutatap
lamat-lamat wajah Emak. Senyumnya begitu tulus saat menyebut nama Ilay. Seolah
harapan besar sengaja ia gantungkan padanya.
Bagaimana
bisa aku mengutarakan kegelisahan ini. Sebab, aku takkan pernah sanggup merenggut
senyum bahagia mereka. Maafkan anakmu,
Mak. Isan tak ada hasrat sedikit pun pada Ilay. Namun, Isan pun tak sanggup merenggut
kebahagiaan Emak jika Isan dengan lancang menguatarakan pengakuanku ini.
Aku tersenyum getir menatap wajah Emak.
______
Pada siapa lagi kan kularungkan
masalah ini? Bahkan, aku tak yakin jika keluargaku sanggup menerima kenyataan
tentangku. Aku tak normal. Ya, setidaknya itulah yang ada pada benak mereka.
Sesaat, nama Malik melintas di
pikiranku. Mengantarkanku pada kejadian kemarin sore. Ah, agaknya aku telah bersikap berlebihan padanya. Entah mengapa di
saat suasana hati tengah tak keruan, apa saja bisa menjadi sumber masalah.
Tiba-tiba
sebuah biji kelatak mengenai kepalaku.
Tak!
“Aduh!”
pekikku gaduh.
“Melamun
saja kerjamu!” Malik menyeret langkahnya mendekatiku. “Kita ambil pukat lagi,
yuk!”
Tanpa
menunggu persetujuan dariku, tangan Malik menarik kuat lenganku. Aku terseret dengan
langkah cepatnya. Dalam benakku, aku bergumam kesal padanya. Tapi, aku tak
kuasa menolak ajakan teman kecilku ini. Kami sudah seperti saudara yang
terlahir dari rahim yang sama. Kebersamaan yang telah kami tempa begitu lama seolah
menjadi bukti kedekatan kami, kendati kami sering cekcok hanya karena persoalan
ringan.
Sesampainya
di tepi sungai, Malik menyorong sampannya ke arah air yang lebih dalam. Tubuh
gempalnya telah naik di atas sampan. Seraya mengatur posisi duduknya, Malik
mulai memegang dayung.
“Lekaslah
naik!” perintahnya saat mendapatiku masih termangu menatap hamparan sungai.
Aku tak menyahut, masih sibuk
mengamati sungai dengan tatapan ketakutan.
“Hei, kau tak perlu setakut itu! Cobalah
untuk santai!” perintah Malik sembari memasang wajah kesalnya.
Kutarik napas dalam, dan mencoba
mengatur napas senormal mungkin. “Ba-baiklah,” sahutku dengan gemetar.
Sampan mulai melaju ke tengah
sungai. Menepikan rerimbunan kiambang yang mengapung di dekatnya. Jalur sampan
mulai tampak jelas, menciptakan gelombang dengan denyut yang seirama.
“Boleh kubertanya sesuatu padamu?”
ucapku membuka obrolan. Tanganku masih gemetar memegang sisi sampan.
“Tanyakan saja!” sahutnya tanpa
menoleh ke arahku. Malik masih menjatuhkan fokusnya pada dayung yang ia pegang.
“Kau pernah jatuh cinta?”
Malik tergelak. “Hahaha, bukankah
aku selalu menceritakan tentang kisah cintaku. Kenapa kau menanyakannya lagi?”
jawabnya seraya memerkan celah gigi pada deretan gigi putihnya.
Tampaknya Malik salah fokus atas
pertanyaanku. Atau, mungkin aku yang tak tepat dalam mengutarakan maksud
pertanyaanku. “Bukan itu maksudku, Malik!”
Malik mengernyitkan keningnya,
seakan mengisyaratkanku untuk memperjelas pertanyaan.
Kupejamkan
netraku sekejap, lantas mulai bersuara, “Ehm, maksudku. Apa kau pernah terjebak
dalam cinta terlarang?”
Malik mengernyitkan keningnya. “Cinta
terlarang seperti apa?” Tangannya masih asyik mendayung seraya menepikan
kiambang yang menghalangi lajunya sampan.
“Ya, cinta terlarang. Mencintai
saudara kandungmu, misalnya. Atau, mencintai adik iparmu.”
Malik justru tergelak atas
pertanyaanku. “Hahaha, tidaklah. Pertanyaanmu aneh sekali, San.”
Aku menyeringai, mengimbangi gelak
tawanya. “Hahaha, ya, kurasa memang aneh. Tapi, bagaimana jika hal itu terjadi
padamu?”
Malik menghentikan dayungannya.
Lantas, ia berpikir dalam beberapa jenak. “Hem..., akan kusingkirkan siapapun
yang menghalangi cintaku. Hahaha....” jawabnya ringan.
Aku justru tak mengerti, mengapa
Malik bisa berpikir sesimpel itu. “Jadi, kau lebih mengutamakan cintamu
daripada ucapan orang-orang di sekelilingmu?”
“Tentu. Sebab tak ada yang salah
atas nama cinta.”
“Ya, kurasa kau sudah gila,”
“Hei, ini jawabanku. Hargailah!”
“Tentu aku menghargai jawaban
gilamu.”
Semburat merah saga tampak begitu
elok menghiasi kanvas cakrawala. Dari sudut hilir sungai, terlihat begitu jelas
keindahan sang surya yang hendak pulang ke singgasananya. Embusan angin sungai
dengah pongahnya menelanjangi setiap senti tubuh kami. Juga tampak sebagian
lain yang berlarian di permukaan sungai.
Malik masih tampak asyik mendayung
sampan. Diarahkannya sampan itu menuju hulu, sembari bertingkah usil
mencipratkan air sungai ke arahku. Ia tampak sempurna saat larung dalam tawa
bahagianya.
Mungkin kau tak pernah tahu, Malik.
Jika aku telah menuliskan namamu di dalam hatiku. Seperti saranmu, aku akan
menyingkirkan siapapun yang menghalangi cintaku. [ ]
*Terinspirasi dari lagu
Born This Way – Lady Gaga.
Yogyakarta,
09 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar